Mediatha.Com,Mamuju,Sulbar—Opini – 17 Agustus nampaknya menjadi suatu hal yang begitu mengkristal dalam benak warga negara Indonesia. Betapa tidak, momentum ini adalah peristiwa yang amat urgen, sebab disinilah cikal bakal proklamasi dikumandangkan oleh bapak Proklamator kita yakni Soekarno.
Pada tanggal dan bulan ini pula menjadi petanda lahirnya kebebasan berdaulat sebagai sebuah Negara oleh seluruh elemen bangsa Indonesia. Hal ini tentu tak lahir dari sebuah ruang yang kosong, namun berkat ikhtiar, baik melalui peperangan fisik maupun jalur politik, hingga mengantarkan kita pada apa yang disebut merdeka.
Jika kita sejenak mencoba merefleksi history kebelakang, maka akan ditemukan bahwa bangsa ini pernah dijajah oleh bangsa lain. Sumber daya alam dikuasai, bahkan sumber daya manusia ikut dilecuti. Sehingga, para pendahulu melakukan berbagai upaya dalam memperjuangkan kedaulatan bangsa dan negara ini.
Hingga kita telah sampai pada usia 76 Tahun menyebut diri sebagai Bangsa dan Negara yang merdeka. Meski demikian, sepertinya, wacana kemerdekaan hanya menjadi euforia semata dalam setiap tahunnya. Hal ini tentu bukanlah asumsi belaka, sebab ada begitu banyak problem yang menganga secara lebar dan menjadi pekerjaan rumah untuk kita tuntaskan secara bersama sama, salah satu diantaranya adalah ” Potret Buram Kebebasan Pers”.
Ada satu pertanyaan, yakni apa relasi antara wacana kemerdekaan dan kebebasan pers ? Tentu, hal ini akan menjadi titik fokus penulis kali ini. Menurut hemat kami, jika kita mencoba menyelami secara sederhana, dimana kemerdekaan itu berasal dari kata ” Merdeka” yang berarti bebas, bebas dari penjajahan fisik, bebas dari penjajahan non fisik seperti pikiran yang termanifestasi melalui karya – karya berupa tulisan.
Sehingga, bagi kami, disinilah relasi pers dan kemerdekaan, karena setiap karya berupa tulisan akan senantiasa memiliki keterkaitan dalam dunia pers. Jadi, pers tentu harus benar – benar ikut merasakan kebebasan yang dilandasi dengan sebuah nilai etis dan moralitas.
Disadari atau tidak, sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia tentu tak hanya melibatkan para tokoh pahlawan saja, namun ada kontribusi besar dari sejumlah tokoh intelektual, seperti salah satu tokoh sastra dan penulis ternama yakni Pramoedya Ananta Toer. Kita bisa melacak dari berbagai referensi, kontribusi pemikiran putra sulung dari pasangan Mastoer dan Oemi Saidah ini telah aktif menelurkan karyanya melalui tulisan pada masa – masa penjajahan sampai pada masa orde lama dan orde baru hingga ke masa reformasi.
Ada begitu banyak perjuangan yang telah dilakukan oleh sosok Pramoedya melalui tulisan, meskipun dia dalam kondisi tekanan seperti dipenjara tanpa alasan, tetapi dirinya masih mampu menelurkan karya – karya mengenai bangsa Indonesia. Meski tak sedikit memandang miring atau kurang mendapat apresiasi dari negara, namun nampaknya Pram telah menancapkan keyakinannya dalam diri untuk tetap bisa berkarya melalui tulisan demi Negara tercinta.
Berkaca Pada Pramoedya Ananta Toer.
Banyak pelajaran yang dapat diambil melalui perjuangan sosok sastrawan dan penulis sekelas Pramoedya yang dapat menjadi spirit di tengah potret buram kebebasan pers saat ini. Sosok pria kelahiran Blora Jawa Tengah itu yang juga pernah bekerja sebagai jurnalis di The Voice Of Free Indonesia dan menempati jabatan sebagai redaktur penerbitan Indonesia, harus merelakan diri ditangkap oleh Nica dan menjadi titik awal mengenal dunia penjara pada saat itu.
Atas kenyataan pahit yang harus ditelan oleh Pram kala itu, saat ini, di tengah riuhnya gema kemerdekaan, nampaknya ada sebuah siklus sejarah. Direnggutnya kebebasan pada masa lalu, tampak jelas saat ini meski dengan cara dan tokoh yang berbeda.
Gamang Di Tengah Pekikan Kemerdekaan.
Saat pekikan kemerdekaan terdengar di seantero negeri ini, ada kegamangan dalam dunia pers, terkhusus di Indonesia, kebebasan pers itu jelas termaktub dalam UU No 40 Tahun1999 tentang Pers, dimana secara jelas bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Meski demikian, ancaman berupa kekerasan dalam menjalankan tugas – tugas jurnalistik kerap kali dirasakan, seperti pada tahun 2017 di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat (Sulbar), tindakan kekerasan pernah dialami oleh jurnalis Manakarra TV atas nama Busman Rasyid.
Busman dilarang mengambil gambar hingga berujung dikeroyok saat liputan progres pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) tipe B Sulbar yang terletak di Jalan Martadinata Mamuju, meski dalam proses penegakan hukum atas kasus tersebut, tidak sama sekali menggunakan UU pers dalam melihat perkara itu, sehingga tentu sedikit mengecewakan bagi para jurnalis.
Tak hanya Busman, Indra yang merupakan jurnalis salah satu koran lokal “Sulbar Raya” pada tahun 2015, pernah mengalami tindakan intimidasi pasca meliput dugaan korupsi di salah satu OPD di Provinsi Sulbar, hal lain, kematian seorang wartawan media online Demas Laira (28) di Mamuju Tengah pada tahun 2020, turut menjadi perhatian publik, meski pihak kepolisian menyatakan bahwa motifnya tidak berkenaan dengan profesinya sebagai jurnalis, tetapi tentu harus menjadi catatan tersendiri dalam dunia pers kita.
Dari berbagai kasus kekerasan pada jurnalis di tingkat lokal, cukup menjadi fakta betapa buramnya kebebasan pers di Indonesia, belum lagi jika kita Ingin kembali mengorek luka lama dalam dunia pers kita, dimana pembunuhan jurnalis Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin telah memasuki tahun ke 25. Namun hingga saat ini kasusnya tak kunjung selesai.
Pemerintah seoalah memalingkan wajah saat diminta tanggung jawabnya untuk menghukum aktor intelektual pembunuh Udin, sehingga semakin memperkuat dugaan bahwa gema kemerdekaan pers adalah suatu hal yang begitu mahal pada bangsa yang saat ini gegap gempita menggemakan kata merdeka.
Tafsir Kebablasan Pada Wacana Kebebasan Pers, Pintu Masuk Kekerasan Pada Jurnalis.
Diberbagai diskusi, penulis kerap kali menyampaikan bahwa Kebebasan Pers tentu tidak bisa ditafsir dengan cara membabi buta, kebebasan pers merupakan salah satu syarat utama dalam demokratisasi, sebab dengan pers kepentingan publik dapat disampaikan melalui media secara demokratis. Meski demikian, tafsir tentang kebebasan pers dalam Negara kita saat ini nampaknya kebablasan, sebab tak jarang, atas nama kebebasan pers, jurnalis/wartawan kadang melabrak nilai – nilai etis dan moralitas sebagaimana yang tertuang dalam kode etik dan kode prilaku jurnalis hanya untuk kepentingan berita, sensasi bahkan tak jarang dijadikan sebagai peluang untuk memeras.
Jika hal itu terjadi, maka bukan tidak mungkin akan semakin memperparah kondisi pers di Indonesia, sekaligus akan menjadi pintu masuk lahirnya kekerasan pada jurnalis/wartawan sebab telah melibas nilai – nilai profesionalisme. Untuk itu, kita semua punya tanggung jawab bersama dalam memberikan penyadaran pada masyarakat, bahwa kebebasan pers tentu tak mengabaikan sisi etika dan moralitas agar lahir produk jurnalistik yang berdasarkan hasil investigasi yang bermuara pada penyajian berita secara faktual bukan hoax.
Jurnalis Merdeka, Menjunjung Tinggi Profesionalisme.
Seorang jurnalis/wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, tentu harus senantiasa mengedepankan profesionalisme, alasannya karena hal ini telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang (UU) Pers Nomor : 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik. Jurnalis/wartawan Indonesia yang profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik berdasarkan UU Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik, dituntut untuk menjaga etika dalam penulisan serta prinsip keberimbangan sesuai dengan fakta, dan menghindari potensi yang akan menimbulkan perpecahan di publik.
Jurnalis yang merdeka, tentu merasa berkewajiban menegakkan nilai – nilai profesionalisme dalam menelurkan karya – karyanya, ia juga harus tampil menjadi garda terdepan untuk melawan semua produk hoax yang saat ini begitu banyak di era digital. Produk hoax yang lahir dari seseorang jurnalis yang tak profesional, tentu akan menjadi penyebab utama dis-integrasi sosial. Sehingga bagi jurnalis/wartawan yang merdeka, harus tetap menjaga keutuhan Negara dari serangan Hoax.
Sebagai akhir dari catatan ini, pada momentum kemerdekaan Republik Indonesia yang ke – 76 tahun, sudah saatnya kita bersama – sama melawan produk hoax dengan segala kesadaran bersama bahwa jurnalis/wartawan merupakan arus utama dalam membendung hoax demi menjaga dis-integrasi bangsa.
Mamuju, 17 Agustus 2021.
Adhi Riadi