Mediatha.Com
Oleh: Muhammad Yusuf, SH., MH.
Camat Sampaga
Seminar Kajian Kelayakan Daerah Otonomi Baru (DOB) yang digelar Pemerintah Kabupaten Mamuju hari ini, Kamis 4 Desember 2025, dan dibuka langsung oleh Gubernur Sulawesi Barat, Dr. Sardi Duka, menandai momentum penting dalam upaya memberikan kepastian status Mamuju sebagai pusat pemerintahan yang berdaulat secara administratif.
Mamuju selama ini hidup dalam paradoks administratif: ia memikul peran besar sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Barat, namun secara struktur masih melekat sebagai bagian dari kabupaten. Ketimpangan ini tidak hanya menciptakan beban pelayanan publik yang kompleks, tetapi juga menghambat efektivitas tata kelola provinsi.
Dalam situasi seperti ini, wacana pembentukan Kota Mamuju bukanlah isu emosional, melainkan kebutuhan konstitusional dan administratif. Tetapi masalahnya selalu berhenti pada satu kata: moratorium.
Padahal, jika bicara legitimasi hukum, pembentukan Kota Mamuju justru memiliki dasar hukum yang jauh lebih kuat dibandingkan banyak usulan DOB lain di Indonesia. Karena itu, tanpa moratorium sekalipun—atau dengan pengecualian khusus—proses ini sudah sangat layak dilanjutkan.
—
Dua Pilar Hukum yang Mengukuhkan Legitimasi Pembentukan Kota Mamuju
1. UU No. 26 Tahun 2004 – Status Mamuju sebagai Ibu Kota Provinsi
Undang-undang ini secara eksplisit menetapkan Mamuju sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Barat. Penetapan ini bukan sekadar administratif, melainkan mengandung konsekuensi:
Ibu kota provinsi harus memiliki kemandirian kewenangan dan kapasitas untuk menjalankan fungsi pemerintahan provinsi.
Status kota otonom adalah bentuk kelembagaan yang paling kompatibel untuk mengemban fungsi tersebut.
Dengan demikian, UU 26/2004 pada hakikatnya menuntut Mamuju menjadi kota—bukan sekadar menetapkan lokasi ibu kota.
2. UU No. 149 Tahun 2024 – Penataan Administratif Kabupaten Mamuju
UU terbaru ini memberikan kerangka hukum yang lengkap untuk:
Penegasan batas wilayah,
Penataan kawasan strategis,
Penataan struktur administratif pascapemekaran.
Ini berarti proses menuju status kota telah memiliki landasan teknis yang legal dan operasional.
Kombinasi kedua undang-undang tersebut membuat legitimasi pembentukan Kota Mamuju bukan hanya kuat, tetapi spesifik dan terarah. Seluruh unsur legal formalnya sudah tersedia.
—
Moratorium: Kebijakan Administratif, Bukan Kunci Pengunci
Moratorium pemekaran daerah adalah kebijakan administratif Pemerintah Pusat—bukan larangan absolut. Bahkan, dalam berbagai pernyataan resmi, pemerintah membuka kemungkinan pengecualian untuk daerah:
yang memiliki alasan strategis nasional,
yang terkait kepentingan ibu kota provinsi, atau
yang sudah memiliki kelengkapan regulasi dan kajian teknokratis.
Dengan demikian, Mamuju memenuhi seluruh kriteria rasional untuk menjadi pengecualian moratorium. Moratorium bukan tembok permanen; ia sekadar pagar administratif yang dapat dibuka untuk kasus yang memiliki dasar kuat seperti Mamuju.
—
Tiga Argumen Hukum Paling Kuat untuk Mengatasi Moratorium
1. Prinsip Fungsionalitas Ibu Kota Provinsi
Ibu kota provinsi tidak dapat dikelola layaknya kecamatan besar dalam kabupaten. Koordinasi pemerintahan, beban layanan, dan peran administratif Mamuju sudah setara kota.
Jika pusat menahan pembentukan Kota Mamuju, maka pusat pula yang membiarkan fungsi ibu kota provinsi dijalankan secara tidak optimal.
2. Legalitas Proses Sudah Paripurna
Dengan adanya UU 149/2024 dan kajian DOB, maka mekanisme pembentukan kota telah memenuhi syarat administratif dan yuridis. Moratorium tidak bisa dijadikan alasan menunda proses ketika syarat teknis telah terpenuhi.
3. Efektivitas Pelayanan Publik
Menahan pembentukan Kota Mamuju berarti membiarkan layanan publik di tingkat provinsi tetap tersandera struktur kabupaten, yang tidak didesain untuk menangani beban kota.
Argumen ini adalah argumen strategis yang sangat kuat dan mudah dipahami oleh pemerintah pusat.
—
Kesiapan Fiskal: Mamuju Bisa Mandiri
Kemandirian fiskal adalah salah satu prasyarat utama untuk menjadi DOB, termasuk kota baru. Untuk itu, target rasional yang perlu dipenuhi adalah PAD ≥ 50%. Strateginya:
1. Optimalisasi Pajak & Retribusi
Perluasan basis pajak hotel, restoran, hiburan, dan usaha jasa.
Digitalisasi pajak daerah.
Penataan retribusi parkir, pasar, dan reklame.
2. Pemanfaatan Aset & Kemitraan Investasi
Optimalisasi aset strategis melalui KPBU.
Bagi hasil dari pengelolaan kawasan komersial, pasar modern, dan pelabuhan.
Dua sumber PAD paling realistis:
1. Pajak hotel-restoran-hiburan + retribusi parkir & reklame.
2. PAD dari aset daerah dan kemitraan investasi.
Jika ini dijalankan dengan roadmap 3 tahun, Mamuju realistis mencapai kemandirian fiskal sebagai kota.
—
Antisipasi Risiko Non-Fiskal: Aset & Layanan Publik
Risiko terbesar bukan fiskal, melainkan pembagian aset dan kelancaran layanan publik pascapemekaran.
Antisipasinya:
Audit aset independen,
Daftar aset terpadu,
Perjanjian pembagian aset yang mengikat,
Dana transisi pelayanan minimal,
Transparansi penuh ke publik.
Ini membuat transisi menjadi kota berlangsung rapi dan minim konflik.
—
Legitimasi Sosial: Masyarakat Harus Terlibat
Sebagus apa pun legitimasi hukum, pembentukan kota harus memiliki legitimasi sosial. Pelibatan:
tokoh adat,
akademisi,
masyarakat umum,
DPRD & wakil rakyat,
akan memastikan proses ini bukan hanya legal, tetapi juga diterima masyarakat.
—
Tahapan Implementasi yang Direkomendasikan
1. Advokasi Hukum & Politik:
Lobi terpadu Gubernur–Bupati–DPRD–DPD–DPR RI untuk pengecualian moratorium.
2. Institusional:
Penetapan batas wilayah, audit aset, dan penyusunan perjanjian pembagian aset.
3. Fiskal:
Roadmap PAD, digitalisasi pajak, dan penarikan investasi strategis.
4. Inklusi Publik:
Infrastruktur penyangga di distrik penyangga (Bonehau, Kalumpang), dan forum partisipasi publik.
—
Penutup: Dari Legitimasi Hukum Menjadi Keputusan Politik
Pembentukan Kota Mamuju memiliki legitimasi hukum yang kuat, jelas, dan spesifik. Dua undang-undang utama telah menyiapkan fondasi yang tak terbantahkan. Moratorium tidak boleh menjadi alasan berhenti berpikir. Ia adalah kebijakan administratif yang dapat dan patut dikecualikan untuk kasus Mamuju sebagai ibu kota provinsi.
Kini, tantangannya bukan lagi soal legalitas, tetapi keberanian politik:
apakah pemerintah daerah, DPRD, gubernur, dan seluruh elemen masyarakat mampu menyajikan argumentasi yang meyakinkan pemerintah pusat?
Jika Mamuju dipersiapkan dengan matang—dari aspek fiskal, administratif, sosial, dan kelembagaan—maka tidak ada alasan lagi bagi pemerintah pusat untuk menahan lahirnya Kota Mamuju sebagai kota yang efektif, mandiri, dan fungsional sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Barat.

